Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih minim menarik utang baru untuk kebutuhan pembiayaan APBN 2023 hingga akhir tahun. Hingga realisasi per 12 Desember 2023, pembiayaan utang hanya sebesar Rp 345 triliun.
Hanya setara 49,6% dari rancangan awal APBN 2023 sebesar Rp696,3 triliun. Ini artinya Sri Mulyani berhasil menyelamatkan Indonesia dari tambahan utang baru yang sebesar Rp351,3 triliun.
Bahkan ini baru 81,9% dari target APBN 2023 hasil revisi berdasarkan Perpres Nomor 75 Tahun 2023 sebesar Rp 421,2 triliun. Dibanding 12 Desember 2022 yang mencapai Rp 544,4 triliun pun menyusut 36,6%.
Sri Mulyani menjelaskan, minimnya penarikan utang baru itu disebabkan realisasi defisit APBN 2023 hingga 12 Desember 2023 hanya sebesar Rp 35 triliun, jauh lebih rendah dari targer awal Rp 598,2 triliun, dan targer Perpres 75/2023 sebesar Rp 479,9 triliun.
“Dengan tadi defisit yang lebih rendah dan dari sisi primary balance yang surplus, pembiayaan sampai dengan 12 Desember 2023, hanya mencapai Rp 345 triliun,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN di Jakarta, Jumat (15/12/2023).
Pembiayaan anggaran tersebut mayoritas berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) neto sebesar Rp 298,6 triliun. Turun 44,2% dari realisasi periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp 712,8 triliun.
Namun, yang berasal dari pinjaman kini sebesar Rp 46,4 triliun. Realisasi penarikan dari pinjaman itu naik drastis hingga 388,1% dari realisasi penarikan pinjaman pada 12 Desember 2022 yang hanya sebesar Rp 9,5 triliun.
“Jadi ada kenaikan dari sisi pinjaman. Namun dari SBN, surat berharga negara turun sangat drastis, sehingga kalau kita lihat pembiayaan utang ini dibandingkan tahun lalu turun sangat tajam,” ucap Sri Mulyani.
Direktur Jenderal Pembiyaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Suminto menjelaskan, kenaikan pinjaman itu disebabkan strategi pemerintah untuk memitigasi risiko volatilitas SBN pada tahun ini.
“Jadi kalau SBN yieldnya lagi naik, cost of fund mahal, terus kita bisa menarik pinjaman program, jadi kalau pinjaman program kan dari bilateral sama multilateral yang cost of fundnya lebih rendah,” ucap Suminto.
Suminto menekankan, penarikan pinjaman dari bilateral dan multilateral itu mayoritas adalah pinjaman tunai, sehingga masuknya langsung ke kas negara. Sisanya baru masuk pinjaman program, meski ia belum mau mendetailkan porsi besarannya.
“Nanti detailnya kita lihat ya, kita belum lihat detail komponennya karena kalau belanja rupiah murni ada pinjaman ada PNBP nanti kita lihat detailnya,” tutur Suminto. https://asiafyas.com/